Artikel



Regenerasi Kepemimpinan Nasional di Mata Kaum Muda.

                                                  lukman hakim
 
Fajar menyingsing menyambut Republik Indonesia yang baru dan dipimpin generasi muda, tetapi kecemasan juga menghadang masa depannya. Generasi baru melihat pemimpin tua, dari pengalaman yang ada, tak mungkin lagi lebih berprestasi, progresif, dan inovatif menyelesaikan masalah baru Indonesia. Karakter konservatif, regresif, bahkan antidemokrasi para pemimpin tua membuat cemas Republik Indonesia yang baru ini. Sementara di sudut ruangan sidang yang lain, generasi tua mengkhwatirkan nasib bangsa ini jika negeri sebesar republik ini dipimpin oleh figur yang yang masih ”ijo”,” inexperienced”.
Di tengah perubahan peta politik yang berkoinsidensi dengan transformasi nilai-nilai politik demokratik, muncul sebuah ketidakjelasan berpikir di balik mencuatnya isu-isu klasik antara kepemimpinan generasi tua dengan generasi muda. Isu-isu tersebut muncul melalui semacam mitos-mitos hasil rekayasa pemikian yang seolah menegaskan bahwa kualitas demokrasi inherent dengan jati diri dan kualitas kepemimpinan antargenerasi. Suatu pilihan kepemimpinan nasional yang diwarnai oleh sikap-sikap bipolarisasi dan dikotomis yang by nature.
Padahal, bagi rakyat, tidak terlalu peduli, apakah pemimpin nasional saat ini dari generasi tua atau generasi muda, dan dari partai mana. Yang penting adalah pemimpin yang sanggup menggulirkan diri dalam obsesi kebutuhan hidup riil masyarakat sekaligus dapat menjalankan mekanisme demokratisasi. Logika politiknya, figur kepemimpinan nasional sejatinya harus mendapatkan dukungan yang dibangun oleh suasana partispasi dan obyektif, suasana yang memungkinkan setiap variabel politik mengekspresikan pendapatnya. Sebab, kepemimpinan nasional yang paling baik adalah ketika rakyat tidak disubordinasi oleh kepentingan kekuasaan semata.
Itulah figur kepemimpinan nasional pasca pemilu yang diharapkan dapat membawahi dan melampaui masa-masa krisis besar bangsa, suatu kualitas yang amat relevan dalam konteks perubahan peta politik yang terus berlanjut dan berkembangnya demokrasi yang semakin semarak. Ini tergantung pada, pertama, sejauh mana praksis demokrasi dikelola dan dijalani. Kedua, soal kepemimpinan, yaitu yang lebih terkait dengan gaya, watak, dan filsafat kepemimpinan, daripada persoalan dikotomi tua-muda.
Kegentingan friksi generasi ini menyebabkan keseimbangan politik, sosial, ekonomi, dan budaya kita berada dalam kondisi kesetimbangan dalam ketidaksetimbangan (inequilibrium’s equilibrium) sepanjang 2008-2014 nanti.
Kata Arnold Toynbee, ada tantangan baru tentu harus ada respons baru. Ada dunia baru yang harus dihadapi dengan pengalaman baru oleh generasi baru. Demokrasi adalah dunia baru Indonesia selama 10 tahun terakhir, kompleksitas demokrasi cukup membuat pusing para tokoh yang tidak siap dengan perubahan dan gonjang-ganjing kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka mengatakan bahwa demokrasi kita telah kebablasan, atau dengan bahasa yang lebih ”kampungan” adalah bahwa telah terjadi liberalisasi dan westernisasi ketimbang sekedar demokratisasi di negeri kita. Sementara generasi pro perubahan hanya menganggap bahwa gonjang-ganjing tersebut hanyalah sebuah dinamika kehidupan yang harus dilalui untuk menuju pendewasaan  Semua ini meyakinkan kita bahwa ”Indonesia on the move”, istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang membutuhkan pengalaman baru untuk menyelesaikan kompleksitas tantangannya. Dunia baru, pengalaman baru, dan tantangan baru bagi kepemimpinan nasional baru.
Jika Arnold Toynbee mengatakan harus ada respon baru terhadap tantangan baru, apakah respon baru tersebut termasuk di dalamnya adalah berbentuk pemimpin dengan figur dan karakter baru pula?
Kita harus super hati-hati dalam menyikapi pertanyaan (pernyataan?) di atas. Karena eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa jadi taruhannya. Karena untuk tetap menjaga keutuhan semangat bersatu dari seluruh komponen bangsa  yang terdiri dari berbagai ragam suku, ras, adat  dan bahkan agama dalam satu rasa nasionalisme diperlukan tiga  pilar utama, yaitu:
1. Adanya  komitmen dari setiap anak bangsa untuk mau menerima dan mau hidup di dalam realitas kemajemukan, memiliki jiwa serta semangat persatuan dan kesatuan, cinta tanah air, rasa nasionalisme, serta wawasan kebangsaan.
2. Adanya perangkat perekat yang memungkinkan segmen yang saling berbeda dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Pancasila sebagai Idiologi bangsa adalah perangkat perekat nasional yang sekaligus berfungsi sebagai perangkat perekat sosial.
3. Adanya kualitas kepemimpinan pada setiap tingkatan, dimensi, bidang dan aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang mampu mengelola kemajemukan secara arif, bijaksana, positif dan kreatif.
So.. kualitas kepemimpinan merupakan sebuah keharusan ketika kita suntuk dalam diskursus regenerasi kepemimpinan nasional. Apalagi saat ini tengah santer-santernya wacana regenerasi kepemimpinan nasional. Wacana pemimpin muda sebagaimana digemborkan oleh salah satu partai peserta pemilu merupakan sebuah lontaran yang cukup menarik untuk didiskusikan. Alternatif kepemimpinan kaum muda telah menjadi kesadaran kolektif bukan saja dari elemen muda aktivis ekstra pemerintahan melainkan dari kaum muda yang saat ini menduduki sejumlah jabatan publik. Sekadar contoh, di parlemen sejumlah anggota DPR membentuk Kaukus Muda Parlemen Indonesia yang beranggotakan lintas parpol.
Mereka berkumpul dengan idealisme muda dan menanggalkan egoisme partisan masing-masing. Mereka sadar belum memiliki infrastruktur politik yang memadai sehingga perlu gerakan kolektif.
Dari beberapa diskusi disimpulkan  bahwa generasi muda memiliki kelebihan-kelebihan yang pantas disandangkan pada karakter pemimpin, yakni :
  1. Memiliki sifat kepeloporan dalam langkah kokrit untuk sebuah perubahan.
Sifat kepeloporan pemuda merupakan sikap yang bersedia untuk tampil di depan menjadi avant garde dalam proses perubahan dan pembangunan. Sudah tercatat dengan tinta emas dalam sejarah bagaimana pemuda tampil di depan dalam perjuangan, bahkan kemudian menjadi martir untuk sebuah perubahan. Pahlawan-pahlawan muda telah banyak kita miliki.
  1. Memiliki semangat dan keberanian untuk mengambil langkah.
Semangat dan keberanian bahkan meski harus mengambil resiko menjadi ciri khas pemuda. Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana Bung Karno diculik oleh para pemuda kita di Rengas Dengklok sebelum akhirnya Dwi Tunggal Bung Karno- Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan.
  1.  Optimistis dalam menghadapi setiap permasalahan.
Berbekal keyakinan akan kebenaran yang diperjuangkan, pemuda selalu optimistis pada keberhasilan pada apapun yang diusahakan.
  1. Dinamis dan mobilitas yang lebih luas untuk berbuat dan mengabdi pada negeri.
Tenaga dan energi yang berlebih yang dimiliki pemuda menjadikan kelompok ini selalu siap menyediakan diri bergerak dan berbuat untuk mengabdikan diri pada pertiwi.
  1. Kepedulian yang lebih terhadap permasalahan bangsa.
Karena waktu yang lebih longgar daripada generasi diatasnya, sehingga menyebabkan pemuda memiliki kesempatan untuk memikirkan nasib bangsa dan kaumnya. Juga karena tingkat keterlibatan pada kesalahan dimasa lalu yang relatif minim (mungkin terlalu naif jika menyatakan tidak sama sekali terlibat dalam kubangan khilaf generasi kemarin pada orde sebelumnya) menjadikan pemuda bersedia lebih lantang dengan frekwensi dan intensitas lebih tinggi untuk  menyuarakan penderitaan dan kesengsaraan rakyat rakyat dan empati yang tajam atas nasib mereka.

Seringkali pula kekhawatiran pada muda usia terkait dengan instabilitas emosional  dan minimnya pengalaman. Permasalahan tersebut sebenarnya tak perlu terlalu besar dikhawatirkan karena lintasan sejarah telah menorehkan lembaran emas bagi kepemimpinan nasional dari generasi muda. Mari kita cermati usia para pemimpin kita saat ini dan kemarin, seperti Presiden Susilo BambangYudhoyono atau SBY (58), Wakil Presiden Jusuf Kalla (65), Megawati Soekarnoputri (60), Abdurrahman Wahid (67), Amien Rais (63),  sedang pada waktu dulu, Sukarno jadi presiden umur 44 tahun, Hatta jadi Wapres 43 tahun, M. Natsir jadi Perdana menteri 42 tahun. Atau fenomena baru Internasional Barack Obama lahir 4 Agustus 1961. Jadi beliau sekarang masih berumur 47 tahun. Adapula di Rusia Medvedev (44 tahun),  Jadi semuanya masih berusia di bawah 50 tahun atau bisa dikatakan ”masih muda”. Dibalik mudia usianya, ternyata tidak sedikit orang yang angkat topi terhadap jiwa kepemimpinan dan kebijakan serta hasil dari kepemimipinannya.
Dari uraian diatas kita berani menarik sebuah pemahaman bahwa permasalahan kepemimpinan nasional merupakan sesuatu yang kompleks namun merupakan variable penting dalam proses kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Dikotomi tua versus muda yang mewacana saat ini perlu disikapi secara arif dan dewasa. Tua ataupun muda usia belum tentu berbanding lurus dengan kedewasaan berpikir, ketajaman analisis, keluasan pandangan, kebijaksanaan dalam kebijakan, dan tentunya keberanian mengambil resiko dalam hidup. Yang lebih utama adalah filsafat dan karakter kepemimpinan yang dimiliki oleh para pemimpin republik ini. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kita tak perlu berteriak-teriak untuk meminta kepemimpinan nasional diserahkan kepada kaum muda namun mari kita menunjukkan kontribusi dan bakti nyata kaum muda kepada bangsa ini, pasti masyarakat akan tahu kualitas pemuda Indonesia Jika kepercayaan dari masyarakat sudah ada pasti mereka akan memilih PEMUDA INDONESIA untuk memimpin negeri ini.


·         Penulis adalah Alumni Pendidikan Ketahanan Nasional Pemuda tahun 2008 Angkatan II yang masih menempuh study di pasca sarjana unnes dan jadi pengurus dpd knpi jawa tengah.