Rabu, 29 Juni 2011


QUO VADIS PEMUDA INDONESIA ;
SEBUAH REFLEKSI SATU ABAD KEBANGKITAN NASIONAL
Lukman Hakim

Nasionalisme Pemuda
Nasionalisme generasi muda sudah menurun drastis dewasa ini? Sebuah pertanyaan yang sangat mengganggu benak dan pikiran kita, generasi muda Indonesia. Seringkali pertanyaan tersebut disampaikan dengan nada kurang menyenangkan sebagai tanda bahwa itu adalah sindiran pada kita. Tapi benarkah nasionalisme kita telah menurun? Jika iya, apa kira-kira faktor penyebabnya?
Adalah sebuah realita yang tak bisa kita pungkiri bahwa kondisi bangsa ini masih carut marut sejak terjadinya krisis multi dimensi dan berakhir dengan reformasi negeri ini. Meskipun telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah, namun masih sering kita jumpai dan bahkan sebagian dari kita merasakan sendiri betapa pedihnya kehidupan yang dihimpit oleh kekurangan, kemiskinan, pengangguran dan segudang problematika lain  dalam hidup. Permasalahan kongkrit tersebut merupakan salah satu pemicu terhadap  menurunnya rasa nasionalisme terutama di kalangan pemuda.
Ketika Alvin Toffler menyatakan bahwa Information is Power, maka siapapun pemilik information maka dia juga sebagai pemilik power. Menyadari konsekwensi logis dari pernyataan di atas, maka sebagian dari kita langsung saja mengantisipasi diri supaya tidak dikuasai oleh orang lain, maka mereka membekali diri dengan pengetahuan sebanyak mungkin. Kemudian mereka mencari sumber informasi dari manapun. Akibatnya kita berselancar di dunia maya dan mendapatkan informasi yang seringkali melunturkan rasa nasionalisme kita.

Globalisasi, Pengertian dan Implikasinya
Globalisasi bukanlah kata yang asing lagi bagi kebanyakan orang. Pengertian globalisasi adalah masuknya atau meluasnya pengaruh dari suatu wilayah atau negara ke wilayah atau negara lain dan atau proses masuknya suatu negara dalam pergaulan dunia.[1] Proses globalisasi mengandung implikasi bahwa suatu aktifitas yang sebelumnya terbatas jangkauannya secara nasional, secara bertahap berkembang menjadi tidak terbatas pada suatu negara.
Globalisasi juga dapat dilihat sebagai integrasi pasar, negara, dan teknologi hingga tingkatan yang tidak pernah dilihat sebelumnya, dengan cara yang membuat para individu, korporasi, dan negara mampu menjangkau seluruh belahan bumi dengan cara yang lebih cepat, jauh, dalam dan murah sehingga dunia pun dapat menjangkau mereka dengan cara yang sama.[2] Hal ini didorong oleh perkembangan teknologi, informasi, dan moneter yang memungkinkan manusia berpindah dengan mudah tanpa batasan yang signifikan.
Sebagai bagian dari lingkungan internasional, Indonesia tidak dapat lepas dari pengaruh globalisasi. Secara ekonomi, globalisasi mendorong perekonomian negara-negara di dunia untuk berkembang dan maju, walaupun adanya liberalisasi dan privatisasi tidak menguntungkan bagi sebagian negara. Sedangkan secara politik dan keamanan, perubahan yang terjadi selama beberapa dekade ini berdampak sistem negara-bangsa. Walaupun kedaulatan Westphalia masih dianut, tetapi batas antar negara seakan memudar, borderless. Kini telah terjadi deteritorialisasi dimana tapal batas dan jarak kehilangan makna.[3] Dengan adanya deteritorialisasi, sifat dan bentuk ancaman terhadap suatu negara pun berubah.
Globalisasi menjadikan dunia ini menjadi sebuah Borderless village. Tak ada sekat nyata yang memisahkan rasa kebangsaan kita. Budaya dan life style yang tidak berakar bahkan bertentangan dengan budaya ketimuran bertubi-tubu membombardir kita, sehingga akibatnya adalah kadang-kadang kita tidak sangat menyadari bahwa gaya hidup yang kita jalani sudah menjauh dari adat budaya bangsa kita. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari kuatnya serangan tersebut.
Lantas apakah kita harus menyerah dan pasrah bahwa kita memang terpaksa harus mengakui bahwa rasa nasionalisme kita menurun? Atau justru kita mungkin malah menggugat : nasionalisme kini sudah tidak relevan lagi dengan tren globalisasi.?
Sebuah pertanyaan yang tidak haram untuk dimunculkan.
Nasionalisme Indonesia yang digagas oleh the founding fathers adalah sebuah ideology yang menyatukan diversity atau keragaman yang ada di Indonesia. Demografi dan geografi bahkan ideologi yang dimiliki oleh unsur-unsur pembentuk nation-state kita yang sangat rentan terhadap wacana disintegrasi. Sehingga wacana pembentukan Negara federal, meskipun nampaknya cukup rasional untuk digagas, namun terasa cukup melukai perasaan para sesepuh negeri ini. Sehingga saat ini cukup sering organisasi baik massa ataupun pemuda memunculkan diskursus “NKRI adalah Harga Mati”. Pemunculan Diskursus tersebut sebenarnya merupakan sebuah luapan ekspresi kecintaan pada republic ini, meskipun bagi beberapa orang menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan.
Nasionalisme di Indonesia sebenarnya bisa dikatakan bahwa penggagasnya adalah para generasi muda. Pada tanggal 20 Mei 1908 dengan dideklarasikannya organisasi yang mewadahi mahasiswa kedokteran STOVIA dan diberi nama BOEDI OETOMO. Saat itulah sebenarnya rasa kedaerahan yang sebelumnya selalu menjadi dasar perjuangan para tokoh pejuang kita. Meskipun ada pula yang menyatakan bahwa semangat nasionalisme rakyat Indonesia sudah dimulai pada 3 tahun sebelumnya yakni tahun 1905 ditandai dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam oleh H. Agoes Salim. Namun karena organisasi ini menggunakan symbol-simbol agama maka menurut pendapat beberapa orang organisasi  ini  masih berbau primordialisme bukan nasionalisme murni.

Pengertian nasionalisme
Sebuah pertanyaan mendasar malah muncul. Apa yang kita maksud dengan nasionalisme? Meminjam definisi yang gunakan oleh Hans Kohn nasionalisme adalah :

            a state of mind, permeating the large majority of people and claiming to permeate all members; it recognizes the nation state as the ideal form of  political organization and the nationality as the source of all creative cultural energy and of economic well being. The supreme loyalty of man is therefore due to his nationality, as his own life is supposedly rootrd in and made possible by its welfare (Nugroho Notosusanto;1984, Ahmad Doly, 2005).

Nasionalisme adalah suatu tata pikir dan tata rasa yang meresapi mayoritas terbesar rakyat dan menganggap dirinya meresapi semua anggota rakyat tersebut. Nasionalisme mengakui secara nasional sebagai bentuk ideal organisasi poliutik  dan menganggap nasionalitas sebagai sumber bagi segala tenaga budaya yang kreatif dan serta kesentosaan ekonomi. Karena itu kesetiaan tertinggi manusia harus ditujukan kepada nasionalitasnya karena hidupnya sendiri itu disangka berakar di dalamnya dan dimungkinkan oleh kesejahteraannya.
Jika kita menggunakan definisi diatas, maka nasionalisme tidak hanya terkait dengan ideology politik saja, namun juga terkait dengan wilayah ekonomi. Artinya membangun nasionalisme berarti kita sedang melaksanakan nation building.  
Namun, saat ini proses nation building justru tengah berbalik arah. Demokratisasi dan desentralisasi pasca reformassi ternyata tidak memperkuat sentiman kebangsaan, justru membuka ruang bagi bagi munculnya kembali sentiment-sentiment primordial anti pluralisme. Ideology yang eksklusif mulai berani menampakkan diri dan mengambil ruang pikir kita. Gugatan terhadap pancalisa sebagai perekat kebinekaan ditandingkan dengan ideology yang komunis maupun agamis. Sentiment daerah yang dicuatkan kembali terpaksa harus menyita energi kita. Jika kita mencermati Global Paradoxal maka kita bisa memehami bahwa ketika globalisasi muncul dan menguat akan muncul pula antitesa yang berupa primordialisasi. Namun tidak seharusnya kita memahaminya dengan memunculkan sentiment daerah, namun sentiment kebangsaanlah yang harus kita gelorakan. Kita harus menautkan perasaan kita pada satu perasaan kolektivitas bangsa.
Namun ternyata kita gagal menemukan satu factor yang secara kuat dapat menumbuhkan kebanggan kolektif atau membuat kita mearasa satu. Pada beberapa momentum kita memang bisa merasa senasib sepenanggungan, ketika atlet olah raga kita sedang bertarung melawan atlet dari Negara lain atau ketika tetangga kita Malaysia berulah di Ambalat, pada saat itu kita betul-betul merasa sentiment kebangsaan kita begitu kuat dan siap bertempur untuk mempertahanklan kedaulatan dan gengsi Negara. Namun ternyata perasaan itu hanya untuk sementara waktu dan setelah itu kembali menyublim ke angkasa. Setelah itu konflik sesame kita kembali muncul, contohnya konflik karena pilkada, pemilu dan lain-lain.

Kekecawaan rakyat terhadap Negara
Banyak rakyat yang kehilangan kepercayaan pada negara (people’s distrust) karena kegagalan Negara menciptakan kemakmuran rakyatnya atau karena keberpihakan yang rendah dari elit-elit Negara terhadap nasib rakyat. Di tengah krisis kepercayaan terhadap Negara tadi, rakyat mencoba mencari alat perekat alternative yang bisa menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tidaklah terlalu mengherankan jika akhirnya ada beberapa kalangan di negeri ini yang kemudian memunculkan ideologi selain pancasila dan bahkan ada pula yang beranggapan bahwa jika mereka membentuk satu Negara tersendiri pasti akan sejahtera. Dampaknya adalah bagaimana di Aceh muncul GAM, di Papua muncul OPM, di Maluku muncul RMS. Bahkan Timor leste sudah terlalu jauh ingin mewujudkan harapan mereka akan kemakmuran mereka, meskipun kondisi mereka sekarang adalah tidak lebih baik dari ketika mereka bergabung dengan Indonesia. Pun juga orang-orang Islam Indonesia juga bisa saja muncul primordialisme agamanya. Ketika aqidah mereka terdesak atau adanya penetrasi pemikiran barat yang dianggap kafir, maka muslimin pun memunculkan sentiment agamanya untuk mempertahankan keyakinan dan eksistensinya.
Symbol-simbol yang bersifat primordialis biasanya lebih mengena dan lebih kongkrit daripada symbol-simbol nasional. Lebih mudah memunculkan sentiment :”kita adalah sesama umat islam yang harus bersatu dan saling membantu” daripada “kita adalah sesama bangsa Indonesia”. Di kalangan umat Islam, ketika symbol-simbol mereka dilecehkan, maka serentak perasaan mereka akan ikut terlukai dan siap berperang mempertahankan symbol agamanya.

Fluktuasi Semangat kebangsaan.
Pluralisme atau kebinekaan yang dulu sering kali kita assumsikan sebagai salah satu kekuatan yang dimiliki bangsa ini,ternyata kini justru berbalik menjadi sebuah momok yang menakutkan. Kekhawatiran tentang keragaman baik adat, budaya, suku, bahkan agama yang bisa menjadi factor pemicu terjadinya disintegrasi sosial sertya konflik horizontal begitu kuat ada di benak kita. Akhirnya semacam paranoid menghinggapi masyarakat negeri yang dulu terkenal ramah dan bersahaja ini.
Optimisme di kalangan generasi muda tentang pluralisme atau keragaman atau kebhinekaan ini masih bisa menjadi kekuatan yang bisa menjadi senajata dalam memajukan negeri ini. Namun optimisme itu terhalang oleh sikap penguasa yang otoriter dan memanfaatkan keragaman tadi sebagai asset yang bisa dinikmati secara pribadi.
Nasionalisme yang digelorakan para pemuda pada tahun 1908 dalam momentum kebangkitan nasional, mengalami pasang surut dalam implementasinya. Sikap patriotisme yang demikian menggelora ketika masih adanya musuh bersama, yakni penjajah, semakin lama semakin luntur. Terutama ketika dua rezim awal pemerintahan Indonesia, Sukarno dan Suharto, menggunakan pendekatan otoritarianisme dalam menjalankan roda pemerintahan. Memang di permukaan nampak adanya stabilitas dan kesatuan di kalangan rakyat, namun dibalik itu ada bom waktu yang tersimpan dan siap meledak. Peristiwa 1966 dan 1998 merupakan titik meledaknya bom waktu tersebut. Yang kemudian ternyata upaya untuk meruntuhkan dua rezim otoriter meskipun berhasil pada momentum kejatuhan, namun gagal dalam melanjutkan upaya memperbaiki kondisi negeri ini. Upaya yang dilakukan oleh para generasi muda tersebut, dianggap oleh beberapa kalangan masih kurang matang dalam menyusun blue print tata pemerintahan yang baru. Konsep anti KKN dan clean and good governance tidak dibreak down menjadi konsep yang aplikabel. Bahkan para pelaku sendiri banyak pula yang terjerumus dalam jebakan kubangan pragmatisme dan larut dalam irama pemerintah.
Apa yang harus dilakukan kini ?
Untuk memperbaiki citra nasionalisme Indonesia, maka pertama kali kita perlu meredifinisikan konsep nasionalisme yang didalamnya juga tercantum adanya rasa spiritualitas. Keadaan riil dalam hidup yang masih terus menekan kita karena masih tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan kekurangan kita lain harus kita atasi terlebih dahulu. Sehingga kita bisa dengan bangga mengatakan “I am proud to be Indonesian” bukan mereka yang mengatakan ,sebagaimana puisi taufiq ismail, yang berbunyi “aku malu jadi orang Indonesia”

Peran Generasi Muda Indonesia
Pemuda dalam makalah ini merujuk pada definisi kamus Websters Princeton, mengartikan bahwa youth yang diterjemahkan sebagai pemuda adalah the time of life between childhood and maturity ; early maturity ; the state of being young or immature or inexperienced ; the freshness and vitality characteristic of a young person.
Dari definisi ini, maka dapat diinterpretasikan pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. 
Berbicara tentang peran generasi muda Indonesia dalam mewujudkan dan menegakkan semangat nasionalisme tentunya kita tidak bisa menafikkan peran dan kontribusi pemuda secara komprehensif dalam perjuangan merebut kemerdekaan maupun perjuangan mengisi kemerdekaan. 
Dalam makalah ini kami akan membagi masa pergerakan kaum muda indonesia menjadi tiga bagian utama :
  1. Masa Pra Kemerdekaan
  2. Masa Revolusi Kemerdekaan
  3. Masa Pasca Kemerdekaan
Ketiga tahapan pergerakan pemuda-mahasiswa tersebut akan kita elaborasikan lebih lanjut.
A.      Masa Pra Kemerdekaan
Pada masa pra kemerdekaan, di tahun 1905 lahirlah gerakan nasionalis pemuda yang pertama yaitu Serikat Dagang Islam dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis pemuda Budi Utomo. Para pemimpin nasionalis muda ini berasal dari kelompok kecil (creative minority) yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Sebagian besar gerakan nasionalisme pada masa sebelum kemerdekaan justru dimotori oleh pemuda-mahasiswa yang sedang atau pernah menempuh studi di luar negeri. Celakanya pemerintah kolonial Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah yang represif berupa penindasan,  banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, Presiden Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, contohnya. Selain itu juga ada tokoh-tokoh muda yang lainnya seperti Muhammad Hatta, Chairul Shaleh dan lain-lain.
B.     Masa Revolusi Kemerdekaan
Indonesia merupakan sebuah negara yang berdaulat ditandai dengan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal tersebut dideklarasikan sebagai hari lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia. Sebelum merdeka, Indonesia merupakan negara jajahan Belanda sejak abad ke 17. Pada waktu itu Indonesia disebut dengan Hindia Belanda, merupakan bagian dari kerajaan Belanda dan pemerintahan dipegang oleh seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kemudian Jepang  menyerbu Indonesia pada 11 Januari 1941 di Kota Tarakan dan pada tanggal 8 Maret 1942 secara resmi Belanda oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten (Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda) menyerah kepada Jepang, dibawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura dan berakhirlah pemerintahan HIndia Belanda di Indonesia. Selanjutnya Indonesia dijajah oleh Jepang.
Dalam proses Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pemuda-mahasiswa juga kembali terbukti memberikan sumbangsihnya yang sangat signifikan bagi proses proklamasi kemerdekaan Indonesia sesuai dengan karakter yang dimiliki generasi muda. Kekalahan Jepang atas sekutu ditandai dengan di bomnya Hiroshima dan Nagasaki merupakan peluang besar yang harus disikapi secara cerdas oleh Bangsa Indonesia dan langkah taktis-strategis harus segera diambil.
Menyadari hal tersebut, kelompok muda menekan seniornya untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Namun kelompok senior masih terlalu banyak melakukan pertimbangan-pertimbangan hingga mereka belum bersedia  mengambil langkah “nekat” untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sangat sulit waktu itu bagi kelompok muda untuk meyakinkan para seniornya supaya segera mengambil kesempatan vakumnya kekuasaan di Indonesia dengan mengambil alih kekuasaan dan mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Akhirnya kelompok muda yang dimotori oleh Sukarni “menculik” Bung Karno dan dibawa ke Rengas Dengklok. Di sana Sukarni meyakinkan Sukarno untuk memproklamirkan kemerdekaan Indoneisa. Akhirnya usaha ini berhasil dan pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 wib bertempat di Jl. Pegangsaan timur Jakarta, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Kumandangkan oleh dwi tunggal Sukarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Dengan adanya proklamasi tersebut, berarti secara de facto telah lahir sebuah negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. Meskipun secara de jure lahirnya Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yakni setelah republik ini memiliki Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai konstitusinya. Saat itulah yang kemudian kita katakan sabagai golden moment bagi rakyat negeri ini mencapai kesejahteraan dan menentukan nasib sendiri. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya kelompok muda tidak mendesak dan nekat “menculik” Bung Karno. Mungkinkah Indonesia sudah merdeka saat ini?
Rupanya perjuangan bangsa ini belum selesai meskipun kita sudah memproklamirkan kemerdekaan. Karena beberapa saat kemudian Belanda berusaha kembali menjajah Indonesia. Agresi Belanda pertama dan kedua menjadi bukti catatan sejarah. Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, kembali lagi kelompok muda menampilkan peran kepeloporannya. Di Semarang, perlawanan rakyat dipelopori oleh kelompok muda yang hingga sekarang untuk mengenang perjuangan dan darma bakti pemuda, dibangunlah “Tugu Muda”. Begitu juga di Surabaya, Bung Tomo, yang merupakan representasi kelompok muda, memimpin perlawanan terhadap upaya Belanda menjajah kembali Indonesia. Untuk mengenang semangat patriotisme mereka, maka ditetapkanlah tanggal 10 November sebagai “Hari Pahlawan”.
C.    Masa Pasca Kemerdekaan
A.    Masa Orde Lama
Seusai perang dunia II, banyak negara telah bermunculan setelah membebaskan diri dari kekuasaan kolonial. Banyak diantara negara-negara baru tersebut termasuk Indonesia yang memiliki harapan besar akan munculnya kesejahteraan bagi rakyat pasca beralihnya kekuasaan politik ke tangan mereka. Jika dulu hasil bumi yang dimililki oleh masing-masing negara dinikmati oleh kekuasaan kolonial, kini setelah merdeka asumsi awal hasil bumi yang ada akan masuk ke kantong bangsa sendiri untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan negeri tersebut, namun harapan dan asumsi yang demikian tidak sepenuhnya terbukti di seluruh negara-negara yang baru muncul itu, ada sebagian Negara yang terus maju dan mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya, seperti Malaysia dan Singapura, sebagian yang lain ada yang masih berjalan di tempat bahkan mundur dari apa yang dirasakan sebelumnya diantaranya adalah negara Indonesia. Indonesia walaupun dikenal sebagai Negara yang berpenduduk terbesar ketiga setelah Cina dan India, juga dikenal dengan negeri yang subur dan kaya akan sumber daya alamnya, namun potensi besar yang dimiliki oleh negeri ini teryata tidak berbanding lurus dengan upaya pencapaian kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.

B.     Masa Orde Baru
Era orde baru terwujud oleh gerakan sinergi kaum muda angkatan 1966 yang berkolaborasi dengan kekuatan tentara. Gerakan angkatan ini terkonsolidasi oleh adanya kebijakan kebijakan rezim orde lama dengan Soekarno yang sangat tidak demokratis.
Pada awal masa orde baru ini, terjadi hubungan yang harmonis antara kelompok muda dengan pemerintah. Kelompok muda ini menaruh harapan besar pada “Pak Harto” untuk memperbaiki nasib Bangsa dan Negara Indonesia. Slogan yang digunakan penguasa orde baru saat itu adalah “melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen”.
Lama kelamaan hubungan harmonis tersebut mulai memudar. Pemuda-mahasiswa mulai bisa memainkan kembali peran kritisnya sebagai kelompok pengontrol atas penyimpangan kekuasaan. Peristiwa yang layak masuk dalam catatan sejarah adalah terjadinya peristiwa “Malari”  yang merupakan koreksi atas kebijakan orde baru saat itu.

C.    Masa Reformasi
Berbagai krisis silih berganti menghiasi potret kehidupan dalam berbangsa, mulai dari krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama hingga persoalan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan menjadi ritus kehidupan rakyat Indonesia yang belum juga usai. Wajar kemudian dalam berbagai hasil survei lembaga-lembaga Intemasional, Indonesia selalu saja menempati posisi buntut dalam hal kemajuan, dan posisi puncak dalam hal kemunduran. Korupsi misalnya, lembaga-lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia berada pada posisi tertinggi, begitu juga halnya dengan kemiskinan dan kebodohan.

Setelah mencermati peran dan kontribusi generasi muda dalam merebut maupun mengisi kemerdekaan, kita sebagai generasi muda harusnya bias merenungkan kembali kondisi kita saat ini. Beginikah realisasi dari cita-cita luhur the founding fathers ataupun oleh para tokoh muda pelopor nasionalisme Indonesia? Setelah satu abad berlalu dari momentum agung terbangunnya semangat nasionalisme bangsa Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda, kemajuan apa yang telah atau bias kita persembahkan kepada para pendahulu kita, pelopor nasionalisme. Atau justru kita akan malu seandainya mereka bangkit dan menanyakan kepada kita: quo vadis nasionalisme pemuda Indonesia?
Dalam momentum peringatan satu abad kebangkitan nasional ini, mari kita gelorakan kembali semangat nasionalisme dan patriotism kita, generasi muda, sehingga cita-cita dan tujuan didirikannya Negara ini bisa sedikit demi sedikit direalisasikan.

Tulisan ini ditutup dengan mencuplik beberapa ungkapan orang-orang besar dalam sejarah peradaban manusia.

‘’BERIKANLAH aku seratus pemuda yang sanggup hidup jujur dan menderita, maka akan kurombak wajah Italia’’ (Ignazio Silone).
‘’Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru, tapi kalau sepuluh pemuda diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” (Soekarno).
                 “Pemuda sejati bukanlah mereka yang hanya mengatakan inilah pendahuluku, tetapi pemuda sejati adalah mereka yang berani mengatakan; inilah aku.” (Ali b. Abu Tholib)

Jayalah Indonesiaku !!!
Bangkitlah generasiku !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar